Praktikum Pengelolaan Lahan Masam Atasan



LAPORAN PRAKTIKUM
PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN


“PENGELOLAAN LAHAN MASAM ATASAN”










Disusun oleh:
Aprian Aji Santoso             (A2A015005)
G Widodo Adhi Prasetyo     (A2A015009)














KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PROGRAM STUDI PASCASARJANA AGRONOMI
PURWOKERTO
2016
I. PENDAHULUAN
A. Landasan Teori
Sumber daya lahan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu sistem usaha pertanian. Menurut Widya (2009) hal tersebut disebabkan karena hampir semua usaha pertanian berbasis pada sumber daya lahan. Salah satu lahan yang mempunyai sebaran cukup luas di Indonesia adalah lahan masam. Lahan masam atasan merupakan lahan yang rekasi (pH) tanah kurang dari 5,5 (pH (1:1) < 5,5). Biasanya memiliki fraksi klei yang didominasi oleh mineral kaolinit. Mineral kaolinit dicirikan dengan KMKklei (CEC) kurang dari 16 cmol (+)/kg klei. Lahan masam atasan (LMA) di Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu: Ultisol (KB < 35 % dan pH < 5,5), Alfisol (KB > 35%, pH > 5,5), dan Oksisol. Suprapto (2002) menyatakan bahwa ketiga ordo tanah yang termasuk dalam klasifikasi LMA tersebut memiliki agihan yang cukup besar di Indonesia yaitu seluas 47,5 juta ha berupa tanah Ultisol dan 18 juta ha tanah Oksisol, sedangkan menurut Puslitanak (2000) luasan tanah masam adalah sebesar 34,5% dari total ordo tanah yang ada di Indonesia (Tabel 1).






Tabel 1. Agihan tanah-tanah di Indonesia
Jenis Tanah
Luas Lahan
( x 1.000 Ha)
Persentase (%)
Histosol
13,20
7,0
Entisol
18,01
9,6
Inceptisol
70,52
37,5
Vertisol
2,12
1,1
Andisol
5,39
2,9
Molisol
9,91
5,3
Alfisol
5,15
2,7
Ultisol
45,79
24,3
Oxisol
14,11
7,5
Spodosol
2,16
1,1
Aneka
1,70
0,9
Total
188,21
100
Sumber: Puslitanak, 2000.
LMA pada umumnya berwarna merah sampai merah kuning dengan lapisan perakaran tanah umumnya miskin hara (miskin mineral dan bahan yang bisa mengikat unsur), kapasitas menukar kation tanah rendah sampai tinggi dan kejenuhan basa rendah. Pembentukan LMA terjadi karena curah hujan tahunan lebih dari penguapan air tahunan sehingga terjadi pencucian kation basa. Selain itu juga terjadinya eluviasi (translokasi atau pencucian liat) dan illuviasi (pengendapan klei) merupakan proses utama yang membentuk tanah kaolinik. Pencucian basa-basa secara cepat dapat terjadi jika curah hujan cukup tinggi untuk membentuk ultisol.
Ultisol merupakan salah satu ordo tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas mencapai 25% dari total luas daratan di Indonesia (Syahputra et al., 2015 ; Paiman dan Armando, 2010 ; Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Menurut Wibowo (2009) tanah ultisol tergolong sebagai tanah marjinal, namun tanah ultisol mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian. Tufalia et. al., (2014) menambahkan bahwa pengembangan tanah ultisol untuk budidaya pertanian ini menghadapi banyak kendala terutama pada sifat fisik, fisikokimia, kimia, biologi dan morfologi tanahnya.
Menurut Paiman dan Armando (2010), ultisol sebagai salah satu lahan kering marjinal berpotensi besar untuk dikembangkan sebagai daerah pertanian dengan kendala berupa rendahnya kesuburan tanah seperti kemasaman tanah yang tinggi, pH rata-rata < 4,50, Kejenuhan Al tinggi, kandungan hara makro terutama P, K, Ca dan Mg rendah, kandungan bahan organik yang rendah, kelarutan Fe dan Mn yang cukup tinggi yang akan bersifat racun, dapat menyebabkan unsur Fosfor (P) kurang tersedia bagi tanaman karena terfiksasi oleh ion Al dan Fe, akibatnya tanaman sering menunjukkan kekurangan unsur P (Nyakpa et al., 1988), serta sifat fisika tanah dan biologi tanah yang kurang mendukung pertumbuhan tanaman. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap produktivitas tanah.
Oleh karena itu, perlu adanya upaya pengelolaan dalam pemanfaatan potensi lahan masam atasan khususnya ordo ultisol. Sebelum dilakukan upaya pengelolaan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengetahui karakteristik lahan yang akan dikelola. Karakteristik lahan adalah ukuran kuantitatif dari komponen-komponen lahan yang meliputi komponen geologi, iklim, tanah, hidrologi, topografi, fisiografi/landform, dan penutupan lahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
B. Tujuan
1.        Mengetahui karakteristik dan kegiatan pengelolaan iklim pada lahan masam
2.        Mengetahui karakteristik dan kegiatan pengelolaan topografi pada lahan masam
3.        Mengetahui karakteristik dan kegiatan pengelolaan tanaman pada lahan masam
4.        Mengetahui karakteristik dan pengelolaan tanah pada lahan masam
5.        Mengetahui karakteristik batuan pada lahan masam



II. METODE PRAKTIKUM
A. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam praktikum pengelolaan lahan masam atasan meliputi peta iklim, peta tanah, peta geologi kabupaten banyumas, dan aquades. Alat yang digunakan meliputi GPS, klinometer (abney level), pisau lapangan, bor tanah, plastik sampel, karet, tali rafia, tas rangsel, pH meter, kamera dan ATK.

B. Prosedur Kerja

1.        Mendatangi dan mengunjungi lokasi lahan masam atasan serta memilih tempat yang dapat mewakili pengamatan
2.        Mengukur dan mencatat tinggi tempat (m dpl) dan posisi (lintang dan bujur) lokasi pengamatan dengan menggunakan GPS
3.        Menentukan zona iklim lokasi pengamatan menurut Oldemen sesuai pada peta zona agroklimat
4.        Mengukur dan mencatat kemiringan lahan yang mewakili (dominan) dengan klinometer atau abney level dan selanjutnya menentukan reliefnya
5.        Mengamati tata guna lahan lokasi pengamatan dan mencatat jenis dan keragaan vegetasi (tanaman) yang dominan dan yang khusus pada lahan masam atasan secara luas
6.        Menentukan nama tanah pada lokasi pengamatan  sesuai dengan PPT dan Taksonomi Tanah
7.        Mengambil contoh tanah pada kedalaman lapis olah yaitu antara 0 dan 25 cm, kemudian menentukan nilai pH tanah, kandungan C-organik dan bahan organiknya, serta kandungan N, P, dan K di laboratorium
8.        Mencari informasi dan mencatat pengolahan tanah, pemupukan tanah setiap musim tanam dan pembenah tanah setiap musim tanam pada lokasi pengamatan
9.        Mencari informasi dan mencatat jenis pengairan pada lokasi pengamatan
10.    Mencari informasi dan mencatat batuan induk pada lokasi pengamatan berdasarkan peta geologi
11.    Mengamati dan mencatat bangunan sipil yang ada pada lokasi pengamatan




















III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A.      Hasil Pengamatan dan Pembahasan
Pengamatan LMA pada praktikum Pengelolaan Sumber Daya Lahan ini dilaksanakan pada sebidang lahan yang terletak di Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas pada tanggal 24 September 2016. Lokasi pengamatan terletak pada 07°29’937” LS dan 109°21’601” BT, dengan ketinggian tempat 300 m di atas permukaan laut (dpl). Pada praktikum ini dilakukan pengamatan secara langsung terhadap kondisi iklim, topografi, vegetasi, tanah dan batuan pada LMA.
Lokasi Pengamatan
Gambar 1. Peta Ketinggian Kabupaten Banyumas


Tabel 2.    Data lokasi pengamatan LMA di Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas

Komponen LMA
Hasil
Lintang Selatan
Bujur Timur
Ketinggian Tempat
07° 29’ 937”
109° 21’ 601’’
300 m dpl

1.        Karekteristik dan Pengelolaan Iklim pada LMA Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas

Hasil pengamatan di lapangan terhadap kondisi iklimnya, LMA yang terdapat di Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas tersaji pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.    Data iklim lahan masam atasan di Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas

Komponen LMA
Hasil
Bulan Basah berturutan
Bulan Kering berturutan
7, 8 atau 9 bulan basah
2, 3 atau 4 bulan kering

LMA Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas termasuk dalam kelompok wilayah yang memiliki iklim golongan B2. LMA Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas memiliki jumlah bulan basah secara berturutan 7, 8 atau 9 bulan basah dan 2, 3 atau 4 bulan kering.
Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Oldeman, bulan basah merupakan bulan yang memiliki curah hujan per bulannya lebih dari 200 mm, sedangkan bulan kering merupakan bulan yang curah hujan per bulannya kurang dari 100 mm. Curah hujan yang tinggi pada LMA Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas berpengaruh pada cepatnya proses pelapukan, terjadinya eluviasi, illuviasi dan pelindian. Hal ini selaras dengan pendapat Notohadiprawiro (2006) bahwa tanah ultisol dibentuk oleh proses pelapukan dan pembentukan tanah yang sangat intensif karena berlangsung dalam lingkungan iklim tropika dan subtropika yang bersuhu panas dan bercurah hujan tinggi. Hal ini menyebabkan proses pelindian (leaching) terpacu kuat pada jenis tanah ultisol. Proses ini dapat menyebabkan tanah menjadi asam (pH tanah menjadi rendah). Pada umumnya makin banyak curah hujan maka keasaman tanah makin tinggi atau pH tanah makin rendah, karena banyak unsur-unsur logam alkali tanah yang terlindi misalnya, Na, Ca, Mg, dan K.

2.        Karekteristik dan Pengelolaan Topografi pada LMA Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas

Relief adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah termasuk di dalamnya perbedaan kecuraman dan bentuk lereng (Haryanto, 2011). Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi diketahui bahwa wilayah Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas yang terletak pada ketinggian 300 m dpl ini memiliki topografi bergelombang dengan kelerengan sebesar 15%. Wilayah Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas termasuk dalam Zona II.
Lokasi Pengamatan
Gambar 2. Peta Kelerengan Kabupaten Banyumas
Relief mempengaruhi proses pembentuk tanah dengan cara: (1) mempengaruhi jumlah air hujan yang meresap atau ditahan masa tanah, (2) mempengaruhi dalamnya air tanah, (3) mempengaruhi besarnya erosi, dan (4) mengarahkan gerakan air berikut bahan-bahan yang terlarut didalamnya (Haryanto, 2011). Agustino (2010) menambahkan bahwa topografi miring mempergiat berbagai proses erosi air, sehingga membatasi kedalaman solum tanah. Oleh karenanya, FAO (1982) menambahkan bahwa kondisi topografi lahan yang bergelombang ini akan lebih sesuai bila pemanfaatannya digunakan untuk budidaya tanaman tahunan  atau perkebunan.




Tabel 4. Zona wilayah berdasarkan kelerengan
Zona
Kelerengan
Tipe Pemanfaatan Lahan (TPL)
I
II
III
IV
V

VI




VII


VIII
> 40%
15-40%
8-<15%
0-<8%
<3%

<3%




<3%


< 8%
Kehutanan
Perkebunan (budidaya tanaman tahunan)
Agroforestri (wana tani)
Tanaman pangan
Hortikultura (gambut dangkal ketebalan <1,5 m) atau kehutanan (gambut dalam ketebalan >1,5 m).
Perikanan yang dipadukan dengan konservasi pantai berupa tanaman kehutanan (mangrove). Zona ini memiliki jenis tanah yang mempunyai kandungan sulfat sangat tinggi (sulfat masam) atau kandungan garam yang tinggi.
Kehutanan. Zona ini memiliki jenis tanah yang berkembang dari pasir kwarsa (spodosol, Quartzipsamments).
Peternakan (pengembalaan). Zona ini memiliki jenis tanah dengan penampang solum yang sangat dangkal dan berbatu.
Sumber: FAO, 1982.
3.        Vegetasi pada LMA Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas


Berdasarkan hasil pengamatan diketahui vegetasi dominan dan khas yang terdapat pada LMA Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas. Adapun vegetasi yang tumbuh tersebut tersaji pada tabel di bawah ini.






Tabel 5. Data vegetasi pada lahan masam atasan di Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas

Komponen LMA
Jenis Tanaman
Pertumbuhan
Vegetasi dominan







Vegetasi khas
a.    Albasia
b.    Durian
c.    Karet
d.   Kelapa
e.    Melinjo
f.     Rambutan
g.    Singkong

a.    Albasia
b.    Durian
c.    Karet
Baik
Baik
Baik
Baik
Sedang
Baik
Baik

Baik
Baik
Baik

Pada lokasi pengamatan diketahui bahwa tanaman tahunan seperti albisia, durian, karet, kelapa, dan rambutan banyak dijumpai tumbuh di lokasi lahan ini. Tanaman-tanaman tersebut dapat tumbuh dengan baik pada jenis lahan ini. Sedangkan dari sekian banyak vegetasi yang ada pada lokasi pengamatan, albisia, durian dan karet merupakan vegetasi khas yang tumbuh pada LMA di Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas.
Tanaman durian menjadi tanaman khas dan dominan di lokasi pengamatan ini kemungkinan disebabkan karena wilayah Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas merupakan salah satu sentra pengembangan tanaman durian di Kabupaten Banyumas.



4.        Sifat Tanah pada LMA Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas

Hasil pengamatan terhadap sifat kimia LMA LMA Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas tersaji pada tabel pengamatan di bawah ini.
Tabel 4.    Data tanah pada lahan masam atasan di Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas

Komponen LMA
Hasil

Klasifikasi tanah
pH tanah
DHL
Kandungan C-organik (%)
Kandungan N (%)
Kandungan P2O5 Bray (ppm P)
Kandungan K2O Hcl 25% (mg/100g)
Pengolahan tanah
Pengairan
Pemupukan
Pembenah tanah

Ultisol (Taksonomi)
4,6
22 mS/cm
0,53
0,05
32,6
0,006
Pengolahan minimum
Tadah hujan
Jarang
Pupuk kandang kambing seadanya dengan cara dibenamkan
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut diketahui bahwa lahan Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas yang diamati tergolong dalam tanah Ultisol dan memiliki reaksi tanah yang bersifat masam karena memiliki pH yang terletak antara 4,5 – 5,5 (Ritung, et al. 2007), . Kandungan C-organik dalam tanah tergolong rendah, demikian juga kandungan N, P2O5, dan K2O yang sangat rendah. Menurut Prasetyo dan Suriadikarta (2006) kandungan hara pada tanah Ultisol umumnya rendah karena pencucian basa berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan organik rendah karena proses dekomposisi berjalan cepat dan sebagian terbawa erosi.
Pengolahan tanah yang dilakukan pada lahan ini termasuk tidak intensif atau pengolahan tanahnya minimum, hanya diolah seperlunya saja, dimana penggunaan pupuk untuk menambah unsur hara tanah jarang dilakukan oleh pengelolanya. Penambahan pembenah tanah berupa pupuk kandang yang berasal dari kotoran kambing juga dilakukan tanpa mempertimbangkan ketersediaan hara tanah dan kebutuhan tanaman yang dibudidayakan. Pupuk kandang kotoran kambing ini hanya diberikan berdasarkan ketersediaannya atau seadanya saja, diberikan dengan cara dibenamkan ke dalam tanah.
Berdasarkan hasil pengamatan juga diketahui bahwa pengairan pada LMA Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas hanya bersumber dari air hujan. Pengairan pada lokasi pengamatan tidak diusahakan dari sumber-sumber air lainnya, seperti dari sumur atau saluran irigasi lainnya. Oleh karena itu ketersediaan air bagi budidaya tanaman pada lahan ini cenderung tercukupi saat musim penghujan dan akan mengalami kekurangan saat musim kemarau.
5.        Batuan pada LMA Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas

Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa batuan induk tanah yang menyusun LMA  Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas adalah mineral kaolinit, komplek latosol kuning merah dan podsolik merah kuning, anggota breksi halang. Hal ini selaras dengan pendapat  Prasetyo et al. (2005) yang menyatakan bahwa komposisi mineral liat Ultisol didominasi oleh kaolinit.
6.        Bangunan sipil di sekitar LMA Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas


Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi diketahui bahwa bangunan sipil yang terdapat di sekitarnya adalah rumah-rumah penduduk. Pada lokasi ini tidak didapati instalasi bangunan irigasi atau saluran air yang terkelola dengan baik. Saluran air yang dijumpai pada lokasi pengamatan ini hanya berupa selokan tanah yang tidak dikelola dengan baik dan banyak ditumbuhi dengan berbagai macam rumput dan tumbuhan perdu. Hal ini semakin menguatkan bahwa pengelolaan irigasi atau sistem pengairan pada LMA Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas hanya mengandalkan air yang bersumber dari air hujan.

B.       Pembahasan Umum
Secara umum, LMA berjenis tanah Ultisol umumnya terdapat di daerah lembab yang mengalami tingkat pelapukan dan pencucian yang tinggi. Tanah ordo ini didominasi oleh mineral liat kaolinit dan oksida-oksida besi dan aluminium (Juo and Fox, 1981); dicirikan oleh tingkat kemasaman yang kuat, level unsur-unsur Ca, K dan Mg rendah dan proporsi kompleks pertukaran dijenuhi oleh aluminium. Defisiensi unsur N, P, K, Ca dan Mg umum dijumpai di lapang (miskin unsur hara) (Sanchez, 1992; Kang dan Juo, 1983), fiksasi P dan anion lain kuat, kadar lengas dan kapasitas simpan lengas tanah rendah dan rentan terhadap erosi (Sudjadi, 1984., Notohadiprawiro, 2006). Hal ini menyebabkan produktivitas atau kesuburan tanahnya rendah (Luthful Hakim, 2002), sehingga menjadi kendala dalam pengembangannya. Selain mempunyai tingkat kesuburan rendah, umumnya LMA memiliki  kelerengan curam, dan kedalaman/solum dangkal yang sebagian besar terdapat di wilayah bergunung (kelerengan > 30%) dan berbukit (kelerengan 15−30%).
Minardi (2009) menambahkan bahwa pengembangan tanaman pertanian secara optimal pada LMA menghadapi beberapa kendala antara lain :
1.      Sebagian besar LMA memiliki tingkat kesuburan yang rendah dan sumber pengairan terbatas kecuali dari curah hujan yang distribusinya tidak bisa dikendalikan sesuai dengan kebutuhan.
2.      Topografi umumnya tidak datar, berada di daerah lereng dan perbukitan, memiliki tingkat erosi relatif tinggi yang berpotensi untuk menimbulkan degradasi kesuburan lahan pada LMA.
3.      Infra struktur ekonomi tidak sebaik di lahan sawah.
4.      Keterbatasan biofisik lahan, penguasaan lahan petani, dan infrastruktur ekonomi menyebabkan teknologi usaha tani relatif mahal bagi petani pada LMA.
5.      Kualitas lahan dan penerapan teknologi yang terbatas menyebabkan variabilitas produksi pertanian pada LMA relatif tinggi.
Oleh karena itu, pemanfaatan dan pengelolaan LMA yang berkemampuan rendah dan berkendala banyak seperti tanah ultisol ini dapat dilakukan dengan melakukan dua sistem pendekatan. Pertama adalah dengan membenahi kemampuan tanah sehingga serasi dengan pemanfaatan atau penggunaan yang diinginkan. Sistem pendekatan ini umumnya menggunakan tekologi masukan tinggi (high input technology). Sistem pendekatan kedua adalah dengan memilih macam pemanfaatan atau bentuk penggunaan yang dapat diadaptasikan pada kemampuan asli tanah tersebut. Sistem pendekatan kedua ini menerapkan apa yang dikenal dengan teknologi masukan rendah (low input technology) (Notohadiprawiro, 2006).
Pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala pada LMA antara lain dengan melakukan pengapuran, pemberian pupuk P dan K, serta pemberian bahan organik (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Kemasaman dan kejenuhan Al yang tinggi dapat dinetralisir dengan pengapuran. Pemberian kapur bertujuan untuk meningkatkan pH tanah dari sangat masam atau masam ke pH agak netral atau netral, serta menurunkan kadar Al. Untuk menaikkan kadar Ca dan Mg dapat diberikan dolomit, walaupun pemberian kapur selain meningkatkan pH tanah juga dapat meningkatkan kadar Ca dan kejenuhan basa. Terdapat hubungan yang sangat nyata antara takaran kapur dengan Al dan kejenuhan Al (Sri Adiningsih dan Prihatini 1986). Pengapuran efektif mereduksi kemasaman (Wade et al. 1986), dan pemberian kapur setara dengan l x Aldd dapat menurunkan kejenuhan Al dari 87%  menjadi < 20% (Sri Adiningsih dan Prihatini 1986).
Lebih lanjut Prasetyo dan Suriadikarta (2006) menyatakan bahwa Pemupukan fosfat merupakan salah satu cara mengelola tanah Ultisol, karena di samping kadar P rendah, juga terdapat unsur-unsur yang dapat meretensi fosfat yang ditambahkan. Kekurangan P pada tanah Ultisol dapat disebabkan oleh kandungan P dari bahan induk tanah yang memang sudah rendah, atau kandungan P sebetulnya tinggi tetapi tidak tersedia untuk tanaman karena diserap oleh unsur lain seperti Al dan Fe. Oleh karena itu akan menjadi lebih baik apabila pada lahan ini dilakukan pemberian pupuk P dan K untuk mengatasi kekahatan unsur hara tersebut yang terdapat dalam tanah.
Tanah Ultisol umumnya peka terhadap erosi serta mempunyai pori aerasi dan indeks stabilitas rendah sehingga tanah mudah menjadi padat. Akibatnya pertumbuhan akar tanaman terhambat karena daya tembus akar ke dalam tanah menjadi berkurang. Bahan organik selain dapat meningkatkan kesuburan tanah juga mempunyai peran penting dalam memperbaiki sifat fisik tanah. Bahan organik dapat meningkatkan agregasi tanah, memperbaiki aerasi dan perkolasi, serta membuat struktur tanah menjadi lebih remah dan mudah diolah. Bahan organik tanah melalui fraksi-fraksinya mempunyai pengaruh nyata terhadap pergerakan dan pencucian hara. Asam fulvat berkorelasi positif dan nyata dengan kadar dan jumlah ion yang tercuci, sedangkan asam humat berkorelasi negatif dengan kadar dan jumlah ion yang tercuci (Subowo et al. 1990). Hillel (1982) mengemukakan bahwa  bahan organik dapat membantu menahan lebih banyak air, lewat perbaikan struktur tanah pada tanah-tanah mineral. Stevenson (1982) menyatakan bahwa penyelimutan liat oleh bahan organik mengurangi tanah mudah terdispersi dan mengurangi pemadatan. Dengan penambahan bahan organik maka granulasi terbentuk, tanah menjadi remah, porositas total meningkat. Pemberian bahan organik yang bersumber dari bahan lain selain dari kotoran kambing seperti dari brangkasan tanaman albisia, daun tanaman singkong, sersah dedaunan durian danlain sebagainya dapat dilakukan untuk meningkatkan kandungan hara tanag, memperbaiki kesuburan biologi tanah serta menghindari terjadinya erosi pada tanah tersebut.
Penerapan teknik budidaya tanaman lorong (tumpang sari), terasiring, drainase dan pengolahan tanah yang seminim mungkin juga dapat dilakukan dalam pengelolaan LMA Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas. Penanaman tanaman sela pada tanaman tahunan atau perkebunan terutama dengan tanaman legum dapat pula menjadi alternatif pengelolaan LMA. Selain dapat memperbaiki kesuburan kimia tanah, keberadaan tanaman tersebut juga dapat membantu memperbaiki kesuburan biologi dan fisik tanah serta dapat melindingi permukaan tanah.
Jadi beberapa tindakan untuk menanggulangi faktor pembatas biofisik lahan, sudah barang tentu diperlukan sentuhan inovasi teknologi guna meningkatkan produktivitasnya. Teknologi pengelolaan lahan kering yang umum dilakukan meliputi :
a)      Tindakan konservasi tanah dan air,
b)      Pengelolaan kesuburan tanah (pengapuran/pemberian kapur, pemupukan dan penambahan bahan organik, penggunaan mikroba tanah seperti mikorhiza),
c)      Pemilihan jenis tanaman pangan (tanaman berumur pendek tahan kekeringan merupakan pilihan yang tepat untuk dilakukan pada wilayah yang beriklim kering).



IV. SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan tentang pengelolaan lahan masam atasan di Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas, maka dapat disimpulkan bahwa pengelolaan iklim, topografi, tata guna lahan, dan tanah belum sesuai dengan rekomendasi pengelolaan lahan masam atasan. Keberadaan vegetasi yang terdapat pada lahan masam atasan kurang optimal karena minimnya pengelolaan yang dilakukan.




















DAFTAR PUSTAKA
FAO. 1982. A Study of Agroclimatology of The Humid Tropics of South East Asia. FAO / Unesco / WMO. Intragency Project on Agroclimatology. Rome.
Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka, 2007. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Hillel,D. 1982. Introduction to Soil Physic. Academic Press, New York, p 181-189.
Juo, A.S.R. and R.L. Fox, 1981. Phosphate sorption characteristics of some denchmark soils of West Africa. Soil Sci. 124 : 370-376.
Kang, B.T. dan A.R.S. Juo, 1983. Management of Low activity clay soils in Tropical Africa for food crop production. Proceeding of 4th International Soil Classification Workshop, Rwanda.
Luthful Hakim, 2002. Strategi Perencanaan dan Pengelolaan Lahan Kering Secara Berkelanjutan Di Kalimantan. Makalah Falsafah Sains, Program Pascasajana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Minardi, S. 2009. Optimalisasi Pengelolaan lahan kering untuk Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Tanah pada Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret tanggal 26 Februari 2009. Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Notohadiprawiro, T. 2006. Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Nyakpa, M.Y, A.M. Lubis, M.A. Pulung, A.G. Amrah, A. Munawar, G. B. Hong, N. Hakim. 1988. Kesuburan Tanah. Universitas Lampung. Lampung.
Prasetyo, B.H., D. Subardja, dan B. Kaslan. 2005. Ultisols dari bahan volkan andesitic di lereng bawah G. Ungaran. Jurnal Tanah dan Iklim 23: 1−12.
Prasetyo, B. H., dan D. A. Suriadikarta. 2006. Karakteristik, Potensi, dan Teknologi Pengelolaan Tanah Ultisol untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 25(2), 2006: 39-47.
Ritung, S., Wahyunto, F. Agus dan H. Hidayat. 2007. Panduan Evaluasi Kesesuaian Lahan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Center, Bogor.
Sanchez, P.A. l992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. (Trnsl, Johana T. Jayadinata) dari judul asli: Properties and Management of Soil in the Tropics. John Willey & Sons. New York. Penerbit Institut Tehnologi Bandung. Bandung.
Sri Adiningsih, J. dan T. Prihatini. 1986. Pengaruh pengapuran dan inokulan terhadap produksi dan pembintilan tanaman kedelai pada tanah Podsolik di Sitiung II, Sumatera Barat. hlm. l39−150. Dalam U. Kurnia, J. Dai, N. Suharta, I.P.G. Widjaya-Adhi, J. Sri Adiningsih, S. Sukmana, J. Prawirasumantri (Ed.). Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah, Cipayung 10−13 November 1981. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Stevenson, F.J. 1982. Humus Chemistry. John Wiley & Sons. New York.
Subowo, J. Subaga, dan M. Sudjadi. 1990. Pengaruh bahan organik terhadap pencucian hara tanah Ultisol Rangkasbitung, Jawa Barat. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 9: 26−31.
Sudjadi, M. 1984. Problem soils in Indonesia and their management. dalam : Ecology and Management of Problem Soils in Asia. FFTC Book Series No. 27. Taipe, h. 50-57.
Suprapto, A., 2002. Land and water resources development in Indonesia. In FAO : Investment in Land and Water. Proceedings of the Regional Consultation.
Syahputra, E., Fauzi dan Razali. 2015. Karakteristik sifat kimia sub grup tanah ultisol di beberapa wilayah Sumatera Utara. J. Agroekoteknologi. 4 (1): 1796-1803.
Tufaila, M., S. Leomo dan S. Alam. 2014. Strategi Pengelolaan Tanah Marginal. Ed Muhidin. Unhalu Press, Kendari.
Wade, M.K., M. Aljabri, and M. Sudjadi. 1986. The effect of liming of soybean yield and soil acidity parameters of three red yellow podzolic soils of West Sumatra. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 6: 1−8.
Wibowo. 2009. Pengamatan kerawanan kebakaran hutan dan upaya pengendaliannya di Kawasan HTI PT. WKS Jambi, Bul. Pen. Hutan
Widya, Y.N. 2009. Membangun kesuburan tanah di lahan marginal. J. Ilmu Tanah dan Lingkungan 9 (2): 137-141. b
















LAMPIRAN









Vegetasi Dominan dan Khas Pada LMA Desa Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas












































Kondisi Tanah LMA Desa Desa Karangsalam, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mikrobiologi Acara III STERILISASI DAN KERJA ASEPTIS

Laporan Praktikum Ekofisiologi Tanaman "Respon Pertumbuhan Tanaman Jagung Manis terhadap Cekaman Kekeringan"

Mikrobiologi acara II Pembuatan Media Pertumbuhan